Search This Blog

INFORMASI SITUASI DI THAILAND Rabu 21 Mei 2014

INFORMASI SITUASI DI THAILAND Rabu 21 Mei 2014

Meskipun Royal Thai Army telah menyatakan darurat militer kehidupan di Thailand tetap berjalan seperti biasa. Menurut pernyataan Royal Thai Army, ini bukan kudeta, tapi semata-mata untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban dan masyarakat tidak perlu kuatir dan dapat menjalani kehidupan seperti biasa.

Saat ini tidak ada jam malam di Bangkok atau tujuan wisata lainnya di Thailand. Penduduk dan wisatawan dapat bebas bepergian di Bangkok dan kota-kota lain seperti biasa. Namun, penumpang penerbangan disarankan untuk mengalokasikan setidaknya 3-4 jam sebelum jadwal waktu keberangkatan pesawat mereka agar memastikan waktu yang cukup.

Badan Pariwisata Thailand (Tourism Authority of Thailand/TAT) terus memantau situasi, dan ingin memberitahukan kepada wisatawan dan industri pariwisata bahwa semua lembaga terkait akan menggunakan upaya terbaik untuk memastikan kenyamanan para wisatawan. Semua transportasi umum dan tempat-tempat wisata, termasuk bandara, lokasi wisata dan pusat perbelanjaan, tetap buka seperti biasa. BTS (kereta skytrain), MRT (kereta bawah tanah), feri, semua berjalan normal.

Sementara itu, situasi di lokasi unjuk rasa di Bangkok tetap normal. Lokasi kelompok anti-pemerintah terletak di sekitar Government House - yaitu di Makkhawan Rangsan Bridge di Ratchadamnoen Nok Avenue dan Chamai Maruchet Bridge di Phitsanulok Road - dan di Kompleks Pemerintahan di Chaeng Wattana dan di Monumen Demokrasi di Ratchadamnoen Klang avenue. Sedangkan lokasi kelompok pro-pemerintah berada di jalan Aksa di pinggiran barat Bangkok. Wisatawan disarankan untuk menghindari lokasi demo.

Bangkok adalah kota yang besar sehingga wisatawan dapat dengan mudah menghindari lokasi demonstrasi. Lalu lintas di sebagian besar wilayah Bangkok juga berjalan normal. Beberapa lokasi favorit turis Indonesia juga buka seperti biasa: - Grand Palace, Wat Pho, Wat Arun - MBK, Siam Paragon, Central World, Terminal 21 - Chinatown - Khao San (namun hindari arah timur ke Ratchadamnoen) - Rambuttri - Platinum & Pratunam - Asiatique - Chocolate Ville - Dream World - Ancient City (Muang Boran) - Dekat airport Suvarnabhumi (contohnya jika masih banyak waktu sebelum ke bandara): Mega Bangna, Dream World - Siam Niramit & Thai Cultural Center - Chatuchak - Thonglor – Ekkamai - Ratchadapisek (misalnya Somboon)

Luar kota seperti Pattaya, Ayutthaya, Damnoen Saduak, Hua Hin, Khao Yai, Chiang Mai, Phuket, Ko Samui, Sukhothai, normal dan aman.

English version: http://www.tatnews.org/category/tat-releases/situation-update/

Warm Regards,

Willyen (Yeyen/Ms.) Tourism Authority of Thailand,Jakarta Office The Plaza Office Tower,38th Floor Jln.M.H.Thamrin Kav.28-30 T: 021 - 2992 2353/4

Sangalaki Surga Derawan

Sangalaki Surga Derawan
Surga wisata bawah laut (foto @DittoBirawa | Nikon Coolpix AW120)

Sangalaki adalah salah satu pulau di Kepulauan Derawan. Derawan sendiri sebuah kecamatan di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Kami hanya singgah satu jam di Pulau Derawan, sesaat sebelum memasuki Sangalaki. Di sini pun hanya makan siang dan membeli cenderamata. Hanya di pulau ini terdapat toko dan penginapan untuk umum.

Derawan memang menjadi pintu masuk ke kepulauan yang namanya syarat dengan nama anggota keluarga ini: Derawan, Sangalaki, Kakaban, dan Maratua. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti apa arti nama-nama pulau tersebut.

Di Sangalaki hanya ada Sangalaki Resort dengan 9 kamar. Karena berperan sebagai konservasi itulah pulau ini membatasi diri pada jumlah pengunjung.Yang menarik dari pulau ini adalah pemandangan lautnya, baik di permukaan maupun di bawah. Di permukaan, laut sangat tenang. Nyaris tidak ada riak, apalagi gelombang besar. Speed boat yang kami tumpangi melaju tenang di kecepatan rerata 50 knot. Tenang, nyaris tanpa goncangan. Bulan-bulan ini laut sedang mati, demikian disebutnya.

Waktu di sini lebih cepat sejam dari waktu Jakarta. Di sini masuk Waktu Indonesia Tengah. Meski lebih cepat, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Malah, seakan berhenti. Maklum, pulau ini senyap dari gegap gempita teknologi. Sinyal selular hanya disediakan oleh Telkomsel. Operator lain belum menancapkan menara BTS. Alhasil, saya dan sebagian besar pelancong yang tidak berafiliasi ke Telkomsel mesti benar-benar menarik diri dari hiruk-pikuk komunikasi dengan dunia luar. Kami fokus berkomunikasi dengan sesama dan alam sekitar.

Sejak awal memang saya memutuskan untuk memeluk kesunyian. Saya tidak membeli kartu perdana lain demi bisa berselanjar di dunia maya. Dunia nyata lebih menarik saat ini. Tiga hari menarik diri dari keramaian sungguh jadi kemewahan. Betapa mahal kesunyian di zaman ini.

Apa yang istimewa dari pulau ini? Seperti yang saya ceritakan di depan, penyu-lah daya tarik utama pulau ini. Pada malam hari, sepanjang musim, selalu ada penyu yang menepi ke daratan. Di bulan Agustus jumlahnya bisa ratusan ekor. Mereka bertelur. Tidak semua. Sebagian kembali ke laut tanpa meninggalkan telur.

Penyu butuh ketenangan untuk bertelur. Dan Sangalaki tempat yang tepat mereka pilih. Tanpa penghuni, penyu merasa nyaman bertelur. Oleh karena itu, salah satu peraturan yang diberlakukan bagi pengunjung adalah larangan untuk bepergian pada malam hari, lebih-lebih dengan menyalakan lampu. Jika itu terjadi, dipastikan penyu urung bertelur. Dan jika situasi demikian dibiarkan, maka perkembangbiakan penyu pasti terhambat.

Juga tidak boleh berkemah. Alasannya sama, bisa memudarkan rasa nyaman penyu. Apa yang boleh? Ini menariknya. Tertulis di papan peraturan, “Tidak boleh mengambil apa pun di pulai ini kecuali foto dan kenangan.” Aha, keren! Memancing saja tidak boleh, apalagi mengambil ikan. Karena itu, semua makanan yang dihidangkan di kami, termasuk ikan, dibelanjakan di Tarakan. Pesan lain, sangat disarankan tidak membeli cenderamata berupa tukik (anak penyu) yang diawetkan. Maklum, ada beberapa warga yang menjual cenderamata itu.

Ini penjelasan Pak @AntonThedy, “Dari seribu tukik yang menetas dan kembali ke laut, hanya satu yang berpeluang hidup. Lainnya dimakan predator laut.” Betapa berat perjuangan tukik untuk bertahan hidup hingga besar menjadi penyu. Mirip manusia. Kita yang hidup sekarang adalah satu-satunya pemenang dari 100 juta sperma yang berlomba membuahi sel telur.

Melepas tukik (foto @DittoBirawa | Nikon Coolpix AW120)

Karena kelangkaan itu, pengunjung diajak untuk melestarikan lingkungan. Seperti malam ini, kami diajak untuk melepas sekira 100 tukik di tepi pantai. Istimewa, insting tukik-tukik itu tajam. Saat belum genap sehari, mereka sudah mengenali di mana letak laut. Begitu menyentuh pasir, mereka langsung berlari ke arah laut, lalu berenang untuk kali pertama. Untuk sekira sepuluh hari ke depan, tukik-tukik itu bisa hidup tanpa makan. Keren kan? Sedari menetas mereka sudah dibekali makanan untuk bertahan hidup. Ini pertama kali saya memegang tukik yang baru menetas tadi pagi. Sebelum saya lepas, saya sempatkan untuk menatapnya dalam-dalam. Ia bergerak-gerak seolah tak sabar untuk lekas berenang. Atau mungkin ia menggeliat-geliat karena takut saya telan. Tak ada suara. Ia bergerak dalam diam. Matanya bulat masih kosong. Kepalanya mendongak-dongak. Ini yang membedakannya dari kura-kura. Kepala kura-kura bisa menarik diri dan bersembunyi di dalam rumahnya, sedangkan kepala penyu tidak.

Pelepasan tukik menjadi atraksi wisata yang menarik di Sangalaki.

Sangalaki merupakan satu dari sekian pulau di Kepulauan Derawan yang ditetapkan pemerintah sebagai Taman Wisata Alam. Secara khusus sebagai kawasan konservasi penyu. Saat makan siang di Derawan, penyu-penyu melenggang pelan di bawah rumah makan. Di Derawan ada kampung apung yang berdiri menjorong hingga 100 meter ke arah laut. Airnya bening, sangat bening, hingga pergerakan ikan dan penyu bisa dilihat dengan mata telanjang.

Selain penyu, ada binatang lain yang jadi daya tarik kawasan ini. Ialah burung maleo (Macrocephalon maleo). Sejatinya, burung ini hanya hidup di daratan Sulawesi. Warnanya hitam pekat. Jambul di atas kepala mirip tanduk.

Burung ini unik. Telurnya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Tak heran, disebut-sebut, saat bertelur, maleo akan berteriak kencang dan sesaat kemudian pingsan. Jumlah telurnya tak banyak, hanya sekitar 5 biji. Maleo tak mengerami sendiri telurnya. Ia menitipkan kelahiran anak-anaknya pada tanah, sama seperti penyu. Uniknya, mereka bisa mendirikan sarang dari pasir yang tingginya juga jauh lebih tinggi dari tinggi tubuhnya yang hanya sekira 15-20 cm saat berdiri. Di dalam gundukan tanah itu mereka menguburkan telur-telurnya sampai anak-anak mereka menetas, 62-85 hari kemudian. Selama itu pula, mereka mempercayakan pengamanan telur-telurnya kepada tengau. Binatang kecil yang sangat gatal itu yang menyebabkan predator seperti biawak tak sanggup membongkar gundukan tanah dan mencuri telurnya. Juga manusia.

Di Sangalaki, mereka tinggal di dalam hutan. Makanan mereka biji-bijian, buah, juga semut dan serangga kecil. Dari bibir pantai terdengar suara-suara mereka mirip suara angsa. Mereka pun berkeliaran santai di belakang saung tempat kami merebahkan diri. Daya tarik lain ada pada lautnya. Sesaat setiba kami di Sangalaki, kami diusung ke tengah laut. Ini yang dinanti-nantikan para pelancong di sini: snorkeling. Hampir semua dari kami terjun ke air. Termasuk saya. Tentu saja pakai pelampung karena saya tidak lihai berenang, apalagi di laut. Selanjutnya, perjalanan kami selalu berhubungan dengan air. Maka, jika ke Sangalaki, pastikan melengkapi diri dengan baju renang. Pakai sandal saja dalam perjalanan karena kebanyakan aktivitas bisa tanpa alas kaki. Pelampung sudah disediakan resort.

Kali ini lokasinya tidak dalam, tak sampai dua meter. Di kesempatan berikutnya, untuk peserta yang suka berenang, dipilihkan lokasi yang lebih dalam. Saya menikmati pemandangan laut dari atas speed boat kali ini. Dengan kacamata dan selang udara yang disediakan Sangalaki Resort, kami bisa merenangi permukaan laut sambil menikmati karang yang atasnya jadi tempat bermain ikan-ikan. Indah sekali. Walau sesekali harus menghindar dari ubur-ubur yang—kabarnya—tumben ada. Kata Mas Bambang, pimpinan perjalanan lokal, belum pernah ada ubur-ubur sebelumnya. “Ini ubur-ubur menyengat. Jangan sentuh ya,” pesan lelaki Madiun, Jawa Timur, yang baru sebulan menikahi perempuan Rembang, Jawa Tengah ini.

by @AAKuntoA

Lelaki di Sangalaki

Lelaki di Sangalaki

Bukan hanya untuk lelaki, namun banyak kisah lelaki di Sangalaki. Sangalaki juga untuk perempuan karena banyak inspirasi tentang sifat-sifat keibuan di sini.

Ubur-ubur di perairan Sangalaki (foto @DittoBirawa | Nikon Coolpix AW120)

Hampir tengah malam ketika seseorang mengetuk kamar kami. Ketukan lirih ini begitu jelas terdengar. Saking sunyinya, suara mendesis saja terendus.

Saya belum tidur ketika orang itu membuka pintu sambil berujar, “Jadi lihat penyu bertelur, Mas?” Tanpa pikir panjang, saya sahut, “Sekarang?” Di balik pintu yang gelap saya lupa wajah petugas resort itu. Jika petugas itu membaca tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih. Malam itu saya lupa mengucapkannya. Sore sebelumnya, petugas resort memang berjanji, pukul berapa pun kami akan dibangunkan jika ada penyu hijau (Chelonia mydas) yang menepi untuk bertelur. Kami sempat ragu sebab malam sebelumnya tak satu penyu pun berlabuh di Sangalaki, pulau tempat kami menginap dua malam ini. Mungkin mereka malu kepada kami. Atau mungkin mereka sedang mengamati dari jauh apakah kami orang baik yang tidak akan mengganggu mereka.

Sore kedua, saat air laut semakin surut, kami sempat bermuka masam mendapati kenyataan tak bakal memergoki penyu bertelur. Wajar, sebab salah satu tujuan kami berlibur ke Sangalaki adalah karena pulau ini ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kehutanan sebagai pulau konservasi penyu.

“Di sektor 12,” jawab seorang petugas lain saat Pak Johny Sudiyanto, pemilik Sangalaki Resort, tempat kami menginap, bertanya di mana lokasi penyu bertelur. Dibimbing sebuah senter yang dipegang petugas, kami yang berkumpul di depan saung makan, menyusuri jalan tanah di belakang resort. Berjalan satu-satu, sebentar kemudian kami sampai di tepi pantai sisi timur, 200 meter dari kamar kami.

Pak Rudi, polisi hutan yang malam itu berpatroli, menyambut kami di bibir pantai. Lelaki berperawakan gempal itu menyambut kami dengan informasi berharga. “Bapak dan Ibu, di depan kita ada seekor penyu yang baru saja naik ke darat kira-kira 15 menit yang lalu,” ujarnya sambil menunjuk bekas tapak penyu berlebar sekira 80 cm. “Supaya penyu nyaman bertelur, mohon Bapak dan Ibu tidak mengarahkan lampu penerangan ke arah penyu. Juga jangan melakukan gerakan berlebih. Penyu sensitif pada getaran,” imbuhnya. Sssttt, lalu kami saling menyilangkan jari di bibir untuk memberi tanda agar tidak berisik. “Oh, kalau berbicara nggak papa. Penyu tidak peka pada suara,” lanjut bapak seorang putri bernama Kia yang ia ajak ke tempat tugas supaya ia tahu pertumbuhannya. Tentu, malam itu Kia tidur di rumah dinas mereka.

Setelah Pak Rudi menginformasikan bahwa butuh waktu sekira 30 menit untuk memastikan penyu bertelur atau tidak, kami pun ngelesot di atas pasir. Saya duduk persis di samping Pak Rudi. Menghadap pantai, kami membelakangi penyu yang sedang krasak-krusuk mencari lokasi. Penyu itu 3 meter di belakang kami. Ia sedang merangsek di antara semak-semak. Sebentar kemudian, keempat kakinya bergantian mengibas-ibas, mendepak-depak pasir, membuat cekungan. Mandi pasir, begitu istilah Pak Rudi. Mandi pasir bukan jaminan penyu bakal bertelur. Ia hanya akan bertelur jika sudah benar-benar menemukan tempat yang aman. Hmmm, betapa penyu seperti ibu. Ia pastikan ratusan telur yang akan dilahirkannya terlindung dari bahaya predator. Di Sangalaki, predator pemangsa telur penyu adalah biawak. Bersembunyi di dalam hutan, jumlah mereka pun banyak. Pak Rudi tak mengetahui jumlahnya.

Hanya biawak? Hiks, ternyata tidak. Manusia adalah predator yang tak kalah buas. Pegawai negeri sipil di Kementerian Kehutanan itu bercerita mengapa setiap pukul 12 malam ia berpatroli jalan kaki keliling pulau. Ada pencuri telur yang mengintai. Bukankah pulau ini kecil sehingga jika ada perahu mendekat akan terlihat atau terdengar? Saya melontarkan keheranan. “Mereka pintar. Kadang perahu ditinggal di tengah lalu mereka berenang menepi,” ungkapnya. Pencuri-pencuri itu berbuat nekat demi telur yang sebutirnya laku Rp 6.000 di pasar gelap. Katanya, untuk jamu kejantanan. Sudah ada beberapa orang, sebutnya, yang dipenjara gara-gara mencuri telur penyu.

Penyu hijau usai bertelur (foto @AAKuntoA | Nikon Coolpix AW120)

Saat asyik bercerita, dan saya mulai terkantuk-kantuk, saya terkagetkan dengan suara gaduh dari penjaga pantai yang lain. Penyu sedang bertelur! Aha, ini yang kami tunggu-tunggu. Pak Jonathan sigap menyalakan video perekam. Dibantu sorot senter, pengusaha konveksi di Bandung itu mendokumentasikan proses bertelur tersebut. Kata petugas, saat bertelur seperti ini, penyu sudah boleh disorot cahaya dan dipegang-pegang. Saya pun mendekat, melancarkan jurus-jurus memotret menggunakan kamera poket Nikon Coolpix AW120 (uji coba, belum beredar untuk publik) milik @DittoBirawa, lelaki fotografer profesional yang ikut dalam perjalanan ini. Ditto sendiri memilih meringkuk di kamar yang adem setelah seharian capek snorkeling dan merekam objek-objek menarik.

Ini kali pertama saya begitu dekat dengan penyu. Saya terharu melihat penyu itu. Matanya sayu. Geraknya lambat namun bertenaga. Tak berkata-kata.

“Don... lewat sini Don....” Entah siapa yang memulai, spontan kami menamai penyu itu Don. Spontan saja, bukan lantaran ada perempuan penyiar radio PasFM Jakarta @DonnaOriza di tengah kami.

Don menurut saja. Ia bergegas meninggalkan ruang bersalinnya menuju bibir pantai. Dalam beberapa langkah, ia meluncur ke bawah, lalu sekejap sudah menceburkan diri di air. 49-60 hari lagi, telur-telur itu akan menetas menjadi tukik. Selama itu pula nasib telur-telur itu ada di tangan Pak Rudi dan penjaga pantai lainnya.

Saya menyimpan pengalaman malam itu dalam-dalam. Malam penuh kenangan di Sangalaki. Kenangan ini seolah mengubur satu kesedihan saya, yakni tidak sempat melihat manta (Manta birostris). Ikan pari terbesar di dunia ini hanya terdapat di beberapa perairan di Indonesia. Kelangkaan itu menjadikan mereka sebagai binatang yang dilindungi, pantang diburu.

Perairan Sangalaki termasuk dikenal sebagai spot manta selain di Raja Ampat, Papua. Kami tidak beruntung. Sudah beberapa kali mengitari perairan, manta tak kunjung menunjukkan kibasan sayapnya. Rony, nakhoda speed boat kami, berulang kami menghentikan perahu di tempat biasa manta muncul, lalu menebarkan pandangan ke sekeliling. Lelaki asal Manado, Sulawesi Utara, itu bersungut-sungut.

Manta-manta itu bersembunyi entah di mana. Mungkin mereka hendak berpesan agar kami kembali lagi...

by @AAKuntoA

TX Travel Meraih 2 Penghargaan Franchise Market Leader & Fastest Growing 2014

TX Travel Meraih 2 Penghargaan Franchise Market Leader & Fastest Growing 2014
TX Travel kembali meraih penghargaan dari majalah Info Franchise dalam kategori Tour and Travel dinobatkan sebagai Franchise Market Leader 2014 dan Franchise Fastest Growing 2014.
Penghargaan diserahkan oleh bapak Anang Sukandar selaku ketua Asosiasi Franchise Indonesia atau disingkat AFI kepada bapak Anton Thedy sebagai founder TX Travel pada hari Rabu, 30 April 2014 di Ballroom Arion Swiss-Bell Hotel Kemang Pk. 21.30 WIB.

Acara juga dihadiri pemenang kategori lain seperti penghargaan tinta isi ulang diraih oleh Veneta, kategori printing diraih oleh Snapy, kategori sekolah menggambar diraih oleh Global Art School. Dan masih banyak lagi kategori lain yang diraih oleh Pecel Lele Lela, Sekolah AIUE, dan lain-lain.

Acara ini diselenggarakan untuk menggairahkan dan meningkatkan bisnis dibidang franchise yang masih salah konsep dan perlu diluruskan agar bisnis franchise bisa berkembang dan membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Berkat kerja keras Bapak Anton Thedy membangun TX Travel, Puji Syukur TX Travel meraih penghargaan ini selama 4 tahun berturut-turut. Sungguh penghargaan luar biasa yang membuat Bapak Anton selaku Founder TX Travel mengembangkan bisnis waralabanya dan melayani konsumen dibidang Tour dan Travel dengan spenuh hati.