Bukan hanya untuk lelaki, namun banyak kisah lelaki di Sangalaki. Sangalaki juga untuk perempuan karena banyak inspirasi tentang sifat-sifat keibuan di sini.
Hampir tengah malam ketika seseorang mengetuk kamar kami. Ketukan lirih ini begitu jelas terdengar. Saking sunyinya, suara mendesis saja terendus.
Saya belum tidur ketika orang itu membuka pintu sambil berujar, “Jadi lihat penyu bertelur, Mas?” Tanpa pikir panjang, saya sahut, “Sekarang?” Di balik pintu yang gelap saya lupa wajah petugas resort itu. Jika petugas itu membaca tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih. Malam itu saya lupa mengucapkannya. Sore sebelumnya, petugas resort memang berjanji, pukul berapa pun kami akan dibangunkan jika ada penyu hijau (Chelonia mydas) yang menepi untuk bertelur. Kami sempat ragu sebab malam sebelumnya tak satu penyu pun berlabuh di Sangalaki, pulau tempat kami menginap dua malam ini. Mungkin mereka malu kepada kami. Atau mungkin mereka sedang mengamati dari jauh apakah kami orang baik yang tidak akan mengganggu mereka.
Sore kedua, saat air laut semakin surut, kami sempat bermuka masam mendapati kenyataan tak bakal memergoki penyu bertelur. Wajar, sebab salah satu tujuan kami berlibur ke Sangalaki adalah karena pulau ini ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kehutanan sebagai pulau konservasi penyu.
“Di sektor 12,” jawab seorang petugas lain saat Pak Johny Sudiyanto, pemilik Sangalaki Resort, tempat kami menginap, bertanya di mana lokasi penyu bertelur. Dibimbing sebuah senter yang dipegang petugas, kami yang berkumpul di depan saung makan, menyusuri jalan tanah di belakang resort. Berjalan satu-satu, sebentar kemudian kami sampai di tepi pantai sisi timur, 200 meter dari kamar kami.
Pak Rudi, polisi hutan yang malam itu berpatroli, menyambut kami di bibir pantai. Lelaki berperawakan gempal itu menyambut kami dengan informasi berharga. “Bapak dan Ibu, di depan kita ada seekor penyu yang baru saja naik ke darat kira-kira 15 menit yang lalu,” ujarnya sambil menunjuk bekas tapak penyu berlebar sekira 80 cm. “Supaya penyu nyaman bertelur, mohon Bapak dan Ibu tidak mengarahkan lampu penerangan ke arah penyu. Juga jangan melakukan gerakan berlebih. Penyu sensitif pada getaran,” imbuhnya. Sssttt, lalu kami saling menyilangkan jari di bibir untuk memberi tanda agar tidak berisik. “Oh, kalau berbicara nggak papa. Penyu tidak peka pada suara,” lanjut bapak seorang putri bernama Kia yang ia ajak ke tempat tugas supaya ia tahu pertumbuhannya. Tentu, malam itu Kia tidur di rumah dinas mereka.
Setelah Pak Rudi menginformasikan bahwa butuh waktu sekira 30 menit untuk memastikan penyu bertelur atau tidak, kami pun ngelesot di atas pasir. Saya duduk persis di samping Pak Rudi. Menghadap pantai, kami membelakangi penyu yang sedang krasak-krusuk mencari lokasi. Penyu itu 3 meter di belakang kami. Ia sedang merangsek di antara semak-semak. Sebentar kemudian, keempat kakinya bergantian mengibas-ibas, mendepak-depak pasir, membuat cekungan. Mandi pasir, begitu istilah Pak Rudi. Mandi pasir bukan jaminan penyu bakal bertelur. Ia hanya akan bertelur jika sudah benar-benar menemukan tempat yang aman. Hmmm, betapa penyu seperti ibu. Ia pastikan ratusan telur yang akan dilahirkannya terlindung dari bahaya predator. Di Sangalaki, predator pemangsa telur penyu adalah biawak. Bersembunyi di dalam hutan, jumlah mereka pun banyak. Pak Rudi tak mengetahui jumlahnya.
Hanya biawak? Hiks, ternyata tidak. Manusia adalah predator yang tak kalah buas. Pegawai negeri sipil di Kementerian Kehutanan itu bercerita mengapa setiap pukul 12 malam ia berpatroli jalan kaki keliling pulau. Ada pencuri telur yang mengintai. Bukankah pulau ini kecil sehingga jika ada perahu mendekat akan terlihat atau terdengar? Saya melontarkan keheranan. “Mereka pintar. Kadang perahu ditinggal di tengah lalu mereka berenang menepi,” ungkapnya. Pencuri-pencuri itu berbuat nekat demi telur yang sebutirnya laku Rp 6.000 di pasar gelap. Katanya, untuk jamu kejantanan. Sudah ada beberapa orang, sebutnya, yang dipenjara gara-gara mencuri telur penyu.
Saat asyik bercerita, dan saya mulai terkantuk-kantuk, saya terkagetkan dengan suara gaduh dari penjaga pantai yang lain. Penyu sedang bertelur! Aha, ini yang kami tunggu-tunggu. Pak Jonathan sigap menyalakan video perekam. Dibantu sorot senter, pengusaha konveksi di Bandung itu mendokumentasikan proses bertelur tersebut. Kata petugas, saat bertelur seperti ini, penyu sudah boleh disorot cahaya dan dipegang-pegang. Saya pun mendekat, melancarkan jurus-jurus memotret menggunakan kamera poket Nikon Coolpix AW120 (uji coba, belum beredar untuk publik) milik @DittoBirawa, lelaki fotografer profesional yang ikut dalam perjalanan ini. Ditto sendiri memilih meringkuk di kamar yang adem setelah seharian capek snorkeling dan merekam objek-objek menarik.
Ini kali pertama saya begitu dekat dengan penyu. Saya terharu melihat penyu itu. Matanya sayu. Geraknya lambat namun bertenaga. Tak berkata-kata.
“Don... lewat sini Don....” Entah siapa yang memulai, spontan kami menamai penyu itu Don. Spontan saja, bukan lantaran ada perempuan penyiar radio PasFM Jakarta @DonnaOriza di tengah kami.
Don menurut saja. Ia bergegas meninggalkan ruang bersalinnya menuju bibir pantai. Dalam beberapa langkah, ia meluncur ke bawah, lalu sekejap sudah menceburkan diri di air. 49-60 hari lagi, telur-telur itu akan menetas menjadi tukik. Selama itu pula nasib telur-telur itu ada di tangan Pak Rudi dan penjaga pantai lainnya.
Saya menyimpan pengalaman malam itu dalam-dalam. Malam penuh kenangan di Sangalaki. Kenangan ini seolah mengubur satu kesedihan saya, yakni tidak sempat melihat manta (Manta birostris). Ikan pari terbesar di dunia ini hanya terdapat di beberapa perairan di Indonesia. Kelangkaan itu menjadikan mereka sebagai binatang yang dilindungi, pantang diburu.
Perairan Sangalaki termasuk dikenal sebagai spot manta selain di Raja Ampat, Papua. Kami tidak beruntung. Sudah beberapa kali mengitari perairan, manta tak kunjung menunjukkan kibasan sayapnya. Rony, nakhoda speed boat kami, berulang kami menghentikan perahu di tempat biasa manta muncul, lalu menebarkan pandangan ke sekeliling. Lelaki asal Manado, Sulawesi Utara, itu bersungut-sungut.
Manta-manta itu bersembunyi entah di mana. Mungkin mereka hendak berpesan agar kami kembali lagi...
by @AAKuntoA
No comments:
Post a Comment