Search This Blog

Sangalaki Surga Derawan

Sangalaki Surga Derawan
Surga wisata bawah laut (foto @DittoBirawa | Nikon Coolpix AW120)

Sangalaki adalah salah satu pulau di Kepulauan Derawan. Derawan sendiri sebuah kecamatan di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Kami hanya singgah satu jam di Pulau Derawan, sesaat sebelum memasuki Sangalaki. Di sini pun hanya makan siang dan membeli cenderamata. Hanya di pulau ini terdapat toko dan penginapan untuk umum.

Derawan memang menjadi pintu masuk ke kepulauan yang namanya syarat dengan nama anggota keluarga ini: Derawan, Sangalaki, Kakaban, dan Maratua. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti apa arti nama-nama pulau tersebut.

Di Sangalaki hanya ada Sangalaki Resort dengan 9 kamar. Karena berperan sebagai konservasi itulah pulau ini membatasi diri pada jumlah pengunjung.Yang menarik dari pulau ini adalah pemandangan lautnya, baik di permukaan maupun di bawah. Di permukaan, laut sangat tenang. Nyaris tidak ada riak, apalagi gelombang besar. Speed boat yang kami tumpangi melaju tenang di kecepatan rerata 50 knot. Tenang, nyaris tanpa goncangan. Bulan-bulan ini laut sedang mati, demikian disebutnya.

Waktu di sini lebih cepat sejam dari waktu Jakarta. Di sini masuk Waktu Indonesia Tengah. Meski lebih cepat, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Malah, seakan berhenti. Maklum, pulau ini senyap dari gegap gempita teknologi. Sinyal selular hanya disediakan oleh Telkomsel. Operator lain belum menancapkan menara BTS. Alhasil, saya dan sebagian besar pelancong yang tidak berafiliasi ke Telkomsel mesti benar-benar menarik diri dari hiruk-pikuk komunikasi dengan dunia luar. Kami fokus berkomunikasi dengan sesama dan alam sekitar.

Sejak awal memang saya memutuskan untuk memeluk kesunyian. Saya tidak membeli kartu perdana lain demi bisa berselanjar di dunia maya. Dunia nyata lebih menarik saat ini. Tiga hari menarik diri dari keramaian sungguh jadi kemewahan. Betapa mahal kesunyian di zaman ini.

Apa yang istimewa dari pulau ini? Seperti yang saya ceritakan di depan, penyu-lah daya tarik utama pulau ini. Pada malam hari, sepanjang musim, selalu ada penyu yang menepi ke daratan. Di bulan Agustus jumlahnya bisa ratusan ekor. Mereka bertelur. Tidak semua. Sebagian kembali ke laut tanpa meninggalkan telur.

Penyu butuh ketenangan untuk bertelur. Dan Sangalaki tempat yang tepat mereka pilih. Tanpa penghuni, penyu merasa nyaman bertelur. Oleh karena itu, salah satu peraturan yang diberlakukan bagi pengunjung adalah larangan untuk bepergian pada malam hari, lebih-lebih dengan menyalakan lampu. Jika itu terjadi, dipastikan penyu urung bertelur. Dan jika situasi demikian dibiarkan, maka perkembangbiakan penyu pasti terhambat.

Juga tidak boleh berkemah. Alasannya sama, bisa memudarkan rasa nyaman penyu. Apa yang boleh? Ini menariknya. Tertulis di papan peraturan, “Tidak boleh mengambil apa pun di pulai ini kecuali foto dan kenangan.” Aha, keren! Memancing saja tidak boleh, apalagi mengambil ikan. Karena itu, semua makanan yang dihidangkan di kami, termasuk ikan, dibelanjakan di Tarakan. Pesan lain, sangat disarankan tidak membeli cenderamata berupa tukik (anak penyu) yang diawetkan. Maklum, ada beberapa warga yang menjual cenderamata itu.

Ini penjelasan Pak @AntonThedy, “Dari seribu tukik yang menetas dan kembali ke laut, hanya satu yang berpeluang hidup. Lainnya dimakan predator laut.” Betapa berat perjuangan tukik untuk bertahan hidup hingga besar menjadi penyu. Mirip manusia. Kita yang hidup sekarang adalah satu-satunya pemenang dari 100 juta sperma yang berlomba membuahi sel telur.

Melepas tukik (foto @DittoBirawa | Nikon Coolpix AW120)

Karena kelangkaan itu, pengunjung diajak untuk melestarikan lingkungan. Seperti malam ini, kami diajak untuk melepas sekira 100 tukik di tepi pantai. Istimewa, insting tukik-tukik itu tajam. Saat belum genap sehari, mereka sudah mengenali di mana letak laut. Begitu menyentuh pasir, mereka langsung berlari ke arah laut, lalu berenang untuk kali pertama. Untuk sekira sepuluh hari ke depan, tukik-tukik itu bisa hidup tanpa makan. Keren kan? Sedari menetas mereka sudah dibekali makanan untuk bertahan hidup. Ini pertama kali saya memegang tukik yang baru menetas tadi pagi. Sebelum saya lepas, saya sempatkan untuk menatapnya dalam-dalam. Ia bergerak-gerak seolah tak sabar untuk lekas berenang. Atau mungkin ia menggeliat-geliat karena takut saya telan. Tak ada suara. Ia bergerak dalam diam. Matanya bulat masih kosong. Kepalanya mendongak-dongak. Ini yang membedakannya dari kura-kura. Kepala kura-kura bisa menarik diri dan bersembunyi di dalam rumahnya, sedangkan kepala penyu tidak.

Pelepasan tukik menjadi atraksi wisata yang menarik di Sangalaki.

Sangalaki merupakan satu dari sekian pulau di Kepulauan Derawan yang ditetapkan pemerintah sebagai Taman Wisata Alam. Secara khusus sebagai kawasan konservasi penyu. Saat makan siang di Derawan, penyu-penyu melenggang pelan di bawah rumah makan. Di Derawan ada kampung apung yang berdiri menjorong hingga 100 meter ke arah laut. Airnya bening, sangat bening, hingga pergerakan ikan dan penyu bisa dilihat dengan mata telanjang.

Selain penyu, ada binatang lain yang jadi daya tarik kawasan ini. Ialah burung maleo (Macrocephalon maleo). Sejatinya, burung ini hanya hidup di daratan Sulawesi. Warnanya hitam pekat. Jambul di atas kepala mirip tanduk.

Burung ini unik. Telurnya lebih besar dari ukuran tubuhnya. Tak heran, disebut-sebut, saat bertelur, maleo akan berteriak kencang dan sesaat kemudian pingsan. Jumlah telurnya tak banyak, hanya sekitar 5 biji. Maleo tak mengerami sendiri telurnya. Ia menitipkan kelahiran anak-anaknya pada tanah, sama seperti penyu. Uniknya, mereka bisa mendirikan sarang dari pasir yang tingginya juga jauh lebih tinggi dari tinggi tubuhnya yang hanya sekira 15-20 cm saat berdiri. Di dalam gundukan tanah itu mereka menguburkan telur-telurnya sampai anak-anak mereka menetas, 62-85 hari kemudian. Selama itu pula, mereka mempercayakan pengamanan telur-telurnya kepada tengau. Binatang kecil yang sangat gatal itu yang menyebabkan predator seperti biawak tak sanggup membongkar gundukan tanah dan mencuri telurnya. Juga manusia.

Di Sangalaki, mereka tinggal di dalam hutan. Makanan mereka biji-bijian, buah, juga semut dan serangga kecil. Dari bibir pantai terdengar suara-suara mereka mirip suara angsa. Mereka pun berkeliaran santai di belakang saung tempat kami merebahkan diri. Daya tarik lain ada pada lautnya. Sesaat setiba kami di Sangalaki, kami diusung ke tengah laut. Ini yang dinanti-nantikan para pelancong di sini: snorkeling. Hampir semua dari kami terjun ke air. Termasuk saya. Tentu saja pakai pelampung karena saya tidak lihai berenang, apalagi di laut. Selanjutnya, perjalanan kami selalu berhubungan dengan air. Maka, jika ke Sangalaki, pastikan melengkapi diri dengan baju renang. Pakai sandal saja dalam perjalanan karena kebanyakan aktivitas bisa tanpa alas kaki. Pelampung sudah disediakan resort.

Kali ini lokasinya tidak dalam, tak sampai dua meter. Di kesempatan berikutnya, untuk peserta yang suka berenang, dipilihkan lokasi yang lebih dalam. Saya menikmati pemandangan laut dari atas speed boat kali ini. Dengan kacamata dan selang udara yang disediakan Sangalaki Resort, kami bisa merenangi permukaan laut sambil menikmati karang yang atasnya jadi tempat bermain ikan-ikan. Indah sekali. Walau sesekali harus menghindar dari ubur-ubur yang—kabarnya—tumben ada. Kata Mas Bambang, pimpinan perjalanan lokal, belum pernah ada ubur-ubur sebelumnya. “Ini ubur-ubur menyengat. Jangan sentuh ya,” pesan lelaki Madiun, Jawa Timur, yang baru sebulan menikahi perempuan Rembang, Jawa Tengah ini.

by @AAKuntoA

No comments:

Post a Comment